Senin, 15 Juni 2009

puisi

Dalam jejak

Dalam jejak jalan setapak yang menanjak

Nanar aku di kelelahan yang membuncah

Carrier hanyalah benda yang ingin kulempar saja ke jurang

Tapi itulah nyawa

Andai aku melemparnya

Itu berarti aku melempar nyawaku ke sana

Air….

Aku hanya ingin setetes air

Dahaga ini pasti hilang

Langkahku pasti semangat lagi

Lalu aku membalikkan tubuhku ke belakang

Ohh Tuhan....

Sungguh aku telah melupakan

Bahwa di belakangku membentang hamparan hijau yang tak terlukiskan kata

Kelu …. Subhanallah

Liku sungai itu, deretan bukit-bukit itu, awan yang susul menyusul itu,

Kota, Desa, sawah, ladang, danau, dan semua yang aku lihat sekarang

Sejenak aku merenung

Betapa aku hanyalah setitik nokhta dalam luasnya jagat raya

Siapa??? Aku bukan siapa-siapa

Kesombongan telah membawaku ke jalan setapak ini

Kesombongan menaklukkan puncak gunung

Kesombongan ketika mendapat pujian dari kawan, keluarga, kenalan

Bahwa inilah pendaki yang telah mencapai puncak

Bahwa inilah seorang pecinta alam sejati

Bahwa inilah…inilah…

Huh… tidaaaakkk, bukan itu, bukan!!

Aku menapak di sini sekedar ingin menikmati

Keindahan yang tak banyak orang yang menikmati

Sebuah harapan mendekati alam yang semakin menjauhi kehidupan

Sebuah tulus cinta untukmu

Sahabatku alam

(Maret 2002)

Kumenanti Seorang Pendaki

Kilau Matamu bagai riak banyu Segara Anak,

Sejuk menusuk hingga ke tulang rusuk

Kilas senyummu bagai cerah mentari di pagi hari

Ssenantiasa dinanti di puncak gunung ini

Bijak kata-katamu bagai semilir bayu di hamparan sabana Tengegean

Membuai siapa saja yang kelelahan

Lembut sapamu bak rangkaian awan di lazuardi

Dan tulus kasih sayangmu….

Bagai putih salju di puncak Jayawijaya , Himalaya, ataupun Alaska

Kekagumanmu pada gunung, pada langit, pada bumi, pada pengisinya

Adalah bukti keagungan cintamu pada Ilahi

Pendaki…

Katamu… gunung adalah pasak bumi

Hingga bumi tiada goyah oleh ganas hempasan samudera

Sehingga asamu bagai gunung

Tiada goyah oleh ganasnya gelombang kehidupan

Setangkai Edelweis lambang cinta abadi itu

Kudamba kau rangkaikan di hati

Bukan mawar bukan melati

Kuhanya ingin kembang cantigi

Sebagai pengobat luka hati yang akan kaubalutkan nanti

Pendaki….

Kepadamu sesungguhnya hendak kulabuhkan hati

Dalam lelah pencarian dalam penat penantian

Walau katamu lelaki tidaklah kamu saja

Namun kataku kuingin kamu saja

Hingga bila tubuh terbujur kaku

Kugenggam erat dalam pelukmu

Pendaki….

Dirimu ….

Yang kunanti!!!!

(Januari 2003)

Jejak

Andai jejak adalah masa lalu,

Maka ijinkanlah aku untuk terus menapaki jalan setapak ini

Karena itulah masa yang akan datang

Walau nafas tinggal satu helaan lagi, walau peluh tak menetes lagi

Dan darah tak mengalir lagi

Jiwa.. yang pasti itulah yang akan kubawa

Dan raga biarlah tercampak di hamparan sabana

Andai jejak itu adalah masa lalu

Biar aku mengenang saat-saat indah itu

Dalam pekat malam merayap di antara tebing-tebing sunyi

Menahan hampa dalam dekapan jauh sinar rembulan

Jiwa… biarlah tenang dalam dekapannya

Menghembus untuk terakhir kali

Dalam damai

Dalam naunganmu

Di sana

Di puncak tertinggi

(lupa tahun berapa...)

Rasa itu

Dulu….kepadamu aku mengeluh

Ratusan malam bercerita

Terdengar tidak terdengar olehmu

Hatiku selalu berbisik kepadamu

Menyuarakan rasa yang sebenarnya aku benci merasakannya

Karena rasa itu telah merenggut hari-hariku yang ceria

Ahhh, Sekali lagi aku bennnnci merasakannya

Bahwa aku ingin sekali melupakannya

Tapi……

Ternyata tak mudah untuk beranjak menanggalkan semua rasa yang telah ada

Mudah memang untuk berbicara

Bahwa luka hati tak kan selamanya

Tapi rasa itu adalah untuk selamanya

Ia datang untuk tinggal bukan untuk pergi

Akankah aku bisa melupakannya?

Karena aku sesungguhnya tak kan bisa melupakannya

Bilakah melupakannya?

Mungkin Aku akan melupakannya!!

Rasa itu….

Mungkin menyiksaku

Tapi…
Mungkin juga kelak membahagiakanku

Hanya saja mulut yang masih berbuih

Memekikkan duka karena rasa itu

Adakah kamu mendengarnya??

On the way (Di mobil Paijo)

Senin, 05 jan-04

BENALU TUA

Aku hadir dalam batas-batas kewajaran

Di antara rekahan pohon tumbang yang mengering

Ingin sekali memberi sentuhan hijau pada daun-daun

Yang berserakan

Entahlah…

Aku hanya benalu tua yang sebentar lagi mati

Pokok tempatku bernaung terbujur kaku dimakan waktu

Ranting-ranting tempatku bermain telah tersapu

Ah aku hanyalah benalu

Yang tak tahu malu

Lihatlah daun-daun itu

Kelaparan dan berguguran karena aku

Biarlah di sisa masa

Akan aku raih saja

Daun mana yang termuda

Ambillah hijauku untukmu

Demi generasimu

Demi tunas-tunasmu

(Tanjung Uncang 04 September 2005)

Rinduku Kerinduanku

Kutatap mega-mega-Mu dalam kerinduan yang membuncah

Aku mengerang pada rangkaian awan yang beriringan

Tuhan…..

Beri Aku harapan akan ampunan

Beri Aku pijakan dalam kegamangan

Kerinduanku akan naungan kasih-Mu

Dalam siang dan malamku

Bilakah jiwa menjadi bagian-Mu?

(Lagi gelisah nihh di 2005....)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar