Senin, 29 Juni 2009

BAKTI KEPADA ORANG TUA

BAKTI KEPADA ORANG TUA

PENDAHULUAN

Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Mereka sering menyalahkan orang tuanya karena mereka menganggap bahwa orang tuanya tidak memberikan cinta kasih dan perhatian yang penuh kepada mereka. Mereka selalu menuntut cinta kasih dan perhatian dari orang tuanya karena mereka menganggap bahwa cinta kasih dan perhatian itu wajib diberikan oleh orang tua kepada mereka.. Mereka tidak menyadari bahwa anak yang baik seyogyanya tidak menuntut cinta kasih dan perhatian, tetapi melakukan kewajibannya dengan baik.

Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang selalu menuntut agar orang tuanya dapat menjadi manusia yang sempurna dalam berbagai hal, seperti Ariya Puggala (makhluk suci). Anak-anak selalu menuntut agar orang tuanya berkelakuan baik dan bertutur kata ramah, tanpa pernah mengoreksi dirinya sendiri. Anak-anak selalu melihat sifat-sifat buruk yang dimilikinya oleh orang tuanya, tanpa pernah menyadari bahwa orang tuanya yang belum mencapai kesucian itu masih dapat berbuat salah. Anak-anak selalu mencela dan membenci orang tuanya jika orang tuanya berbuat salah. Tanpa pernah berusaha memberitahu kesalahan orang tuanya dengan cara yang bijaksana. Anak-anak tidak pernah menyadari bahwa orang tuanya dapat berwatak keras itu sesungguhnya karena pengalaman masa lalunya. Anak-anak tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya tidak mudah untuk merubah sifat dan watak orang tuanya yang keras itu. Anak-anak tidak pernah menyadari bahwa jika mereka tidak dapat merubah sifat dan watak orang tuanya yang keras itu, maka seharusnyalah mereka merubah pikiranya sendiri.

Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang tidak menghormati dan tidak patuh kepada orang tuanya. Mereka sering mendelik, menentang, dan membangkang orang tuanya. Mereka datang dan pergi dari rumah tanpa memberitahukan kepada orang tuanya. Mereka pergi meninggalkan rumah pagi-pagi sekali dan kembali sampai jauh malam. Mereka tidak mengacuhkan teguran-teguran dan peringatan-peringatan yang diberikan orang tuanya.

Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang sukar dididik dan diatur. Mereka keras kepala, malas, dan dungu. Mereka tidak mempunyai keinginan untuk belajar. Mereka berteman dengan orang-orang jahat dan segera meniru kebiasaan-kebiasaan jahat tersebut. Mereka menjadi nakal, suka berkelahi, gemar berjudi, tidak perduli lagi pada moral, terjerumus dalam kehidupan seks yang salah, masuk dalam kenikmatan narkotika, ganja, dan sejenisnya. Kemudian, mereka menarik saudara-saudaranya untuk ikut berbuat jahat, sehingga menambah kesedihan ornag tuanya.

Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang tidak memperdulikan kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesehatam orangtuanya. Mereka tidak pernah menanyakan apakah orangtuanya tidak menderita panas atau dingin, lapar atau haus. Mereka tidak pernah menanyakan, apakah orangtuanya dapat tidur nyenyak dan beristirahat dengan tenang. Mereka tidak pernah menanyakan apakah orangtuanya tidak menderita sakit apapun. Mereka tidak pernah melayani orangtuanya dengan baik. Mereka tidak pernah memperhatikan kesusahan orangtuanya, Mereka tidak pernah mengetahui bahwa orangtuanya sering menangis, meratap, dan berkeluh kesah.

Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang melupakan kebaikan orang tuanya. Mereka tidak menyadari pengorbanan yang amat besar yang telah diberikan oleh orang tuanya kepada mereka. Mereka tidak tahu berterima kasih kepada orang tuanya. Mereka tidak berbakti kepada orang tuanya. Mereka tidak berusaha menghibur dan membahagiakan orang tuanya. Mereka tidak berusaha memenuhi keinginan-keinginan orang tuanya. Mereka baru menyadari semua itu ketika orang tuanya sudah meninggal dunia. Mereka baru menyesali semua sikap dan tingkah lakunya sebagai anak yang tidak berbakti. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

Dalam kitab suci Dhammapada Bab V ayat 67, Sang Buddha bersabda,

“Bilamana suatu perbuatan setelah selesai dilakukan
membuat seseorang menyesal,
maka perbuatan itu tidak baik.
Orang itu akan menerima akibat perbuatannya
dengan ratap tangis dan
wajah yang bergelimang air mata.”

PENGORBANAN ORANG TUA

Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan manusia didunia ini tidak terlepas dari jasa dan pengorbanan orang tuanya. Pengorbanan orang tua telah diberikan sejak ibu mengandung, melahirkan, sampai anak-anaknya dewasa dan menikah, bahkan sampai orang tua meninggal dunia. Orang tua selalu berkorban untuk anak-anaknya, paling tidak dengan pemikiran kehidupan anak-anaknya.

Pada saat ibu mengandung badannya seolah-olah menjadi seberat gunung. Selama mengandung, ibunya merasakan kesusahan setiap kali bangun tidur, seolah-olah mengangkat beban yang berat. Sepanjang hari, ibu terasa mengantuk dan lamban. Seperti orang sakit parah, ibu tidak mampu menelan makanan dan minumam dengan baik. Setiap hari ibu selalu gelisah memikirkan anaknya yang akan lahir, apakah cacat atau normal. Ibu juga khawatir dan takut akan kematian.

Setelah sepuluh bulan berlalu, ibu menderita berbagai macam kesakitan waktu melahirkan. Ibu mempertaruhkan kehidupannya sendiri pada saat melahirkan anaknya. Darah ibu mengalir laksana darah seekor domba yang mengucur ketika disembelih. Ibu sangat letih dalam badan dan pikiran. Namun, ketika mendengar bahwa anaknya terlahir normal dan sehat, ia dipenuhi dengan kegembiraan yang melimpah. Tetapi sesudah itu, kesedihan datang kembali, karena rasa sakit kembali menyerang tubuhnya untuk beberapa waktu lamanya.

Setelah anak lahir, ibu menggendongnya dan memberikan air susu yang merupakan darahnya sendiri. Ibu mengasuh anaknya dengan penuh kasih sayang. Ibu membersihkan kotoran anaknya tanpa merasa jijik. Ibu dan juga ayah menjaga anaknya siang dan malam. Mereka tidak pernah tidur nyenyak, karena selalu diganggu oleh tangis anaknya. Mereka tidak pernah memikirkan rasa laparnya, tetapi mereka selalu mengusahakan agar anaknya mendapat makanan dan minuman yang cukup.

Ibu dan ayah selalu mencintai dan berusaha membahagiakan anak-anaknya. Mereka selaku berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dengan rela, mereka menderita untuk kepentingan anak-anaknya. Mereka, terutama ayah, berusaha bekerja keras mencari uang untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Mereka berusaha memberikan berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan kepada anak-anaknya, sehingga kelak anak-anaknya dapat bekerja sendiri.

Orang tua memikirkan anak-anaknya. Orang tua ikut bersuka cita akan kebahagiaan anak-anaknya dan turut berduka akan kesulitan anak-anaknya. Bila anak bekerja berat, orang tuanya merasa sedih. Bila anak bepergian jauh, orang tua merasa khawatir akan keadaan anaknya. Dari pagi hingga malam, hati mereka selalu bersama anak-anaknya. Mereka selalu berdoa agar anak-anaknya selamat sejahtera, dan bahagia dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Orang tua tidak pernah merasa bosan untuk mendidik dan membimbing anak-anaknya. Mereka mengajarkan sila atau kelakuan bermoral kepada anak-anaknya, dengan harapan agar anak-anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang bermoral baik. Mereka berusaha menumbuhkan hiri (malu berbuat jahat) dan ottappa (takut akan akibat perbuatan jahat) dalam diri anak-anaknya. Mereka berusaha menanakan ajaran cinta kasih, kerelaan memberi, menghormati yang lebih tua, toleransi, sopan santun, mempunyai tanggung jawab, dan lain-lain.

Orang tua selalu berusaha melaksanakan kewajiban-kewajibannya, seperti yang tercantum dalam Sigalovada Sutta, dengan baik dan secara ikhlas. Terdapat lima kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya, yaitu :

1. Mencegah anaknya berbuat jahat.
2. Menganjurkan anaknya berbuat baik
3. Melatih anaknya untuk dapat bekerja sendiri
4. Mempersiapkan pasangan yang sesuai bagi anaknya.
5. Memberikan warisan pada waktu yang tepat.

BAKTI ANAK KEPADA ORANG TUA

Jasa orang tua amat besar dan sulit terbalas oleh anak-anaknya selama hidupnya. Dalam Anguttara Nikaya Bab IV ayat 2 Sang Buddha memberikan perumpamaan sebagai berikut : “ Bila seorang anak menggendong ayahnya dipundak kiri dan ibunya di pundak kanan selama seratus tahun, maka anak tersebut belum cukup membalas jasa kebaikan yang mendalam dari orang tuanya.”

Anak-anak amat berhutang budi kepada orang tuanya. Tanpa kasih sayang dan pengorbanan orang tua, anak-anak tidak mungkin dapat hidup bahagia. Sang Buddha pernah mengatakan bahwa orang tua laksana “ Brahma” bagi anak-anaknya. Oleh sebab itu, Anak-anak seyogyanya berbakti kepada orang tuanya. Sanak-anak seyogyanya merasa gembira dan bahagia bila berkumpul dengan orang tuanya. Anak-anak seyogyanya berlaku baik dan sopan terhadap orang tuanya.

Dalam Dhammapada bab XXIII ayat 332, Sang Buddha bersabda, “Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan. Berlaku baik terhadap pertapa merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini, berlaku baik terhadap Para Ariya juga merupakan kebahagiaan.”

Anak–anak seyogyanya berusaha melakukan kewajibannya sebagai anak dengan sebaik-baiknya. Dalam Sigalovada Sutta diuraikan mengenai 5 macam kewajiban anak kepada orang tuanya, yaitu,

  1. Merawat dan menunjang kehidupan orang tuanya terutama dihari tua mereka.
  2. Membantu menyelesaikan urusan-urusan orang tuanya.
  3. Menjaga nama baik dan kehormatan keluarganya.
  4. Mempertahankan kekayaan keluarga, tidak menghambur-hamburkan harta orang tua dengan sia-sia.
  5. Memberikan jasa-jasa kebahagiaan kepada orang tuanya yang telah meninggal dunia.

1. Merawat dan menunjang kehidupan orang tua.

Anak-anak seyogyanya merawat dan menunjang kehidupan orang tuanya yang telah tua dengan hati yang tulus ikhlas. Anak-anak seyogyanya menanyakan kesehatan orang tuanya. Jika sakit, anak-anak seyogyanya mengajak orang tuanya berobat ke dokter, membantu meminumkan obat, menghiburnya, dan sebagainya. Anak anak seyogyanya membawakan makanan dan minuman yang enak bagi orang tuanya. Anak-anak seyogyanya menyempatkan diri untuk menemani orang tuanya pergi ke Vihara atau jalan-jalan ke tempat rekreasi.

Anak-anak seyogyanya menyediakan tempat tinggal yang layak bagi orang tuanya yang ingin menginap. Anak-anaknya tidak patut menolak kedatangan orang tuanya yang ingin menginap. Anak-anak tidak patut saling melempar tanggung jawab diantara mereka dalam hal merawat dan menampung orang tuanya. Seharusnya anak berbahagia jika orang tuanya memilih tinggal dirumahnya, karena anak tersebut mempunyai kesempatan lebih banyak untuk membalas kebaikan orang tuanya. Anak yang berbakti tidak akan menempatkan orang tuanya di rumah jompo, walaupun dengan alasan orang tuanya lebih senang karena banyak teman.

2. Membantu menyelesaikan urusan-urusan orang tuanya.

Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti mempunyai barbagai masalah, termasuk orang tu kita. Anak-anak seyogyanya berusaha membebaskan orang tuanya dari berbagai masalah dan kekhawatiran. Anak-anak seyogyanya menanyakan masalah-masalah yang dihadapi oleh orang tuanya dengan lemah lembut. Kemudian, anak-anak berusaha menghibur orang tuanya dengan mengatakan bahwa semua masalah pasti dapat terpecahkan. Tidak ada problem yang tidak terselesaikan. Tidak ada kesulitan yang tidak ada akhirnya. Selanjutnya, anak-anak berusaha membantu memecahkan masalah-masalah orang tuanya tersebut.

3. Menjaga nama baik dan kehormatan keluarga.

Anak-anak seyogyanya bertutur kata sopan dan berkelakuan baik. Anak-anak seyogyanya menjalankan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari, yang berarti berusaha menghindari kejahatan. Anak-anak seyogyanya berusaha menambah kebaikan dengan berdana dan lain-lain. Anak-anak seyogyanya berusaha membersihkan pikirannya dari lobha (keserakahan), dosa ( kebencian), dan moha ( kebodohan). Anak-anak seyogyanya berusaha mengembangkan nialai-nilai spiritual dalam batinnya; melatih diri untuk menjadi baik; melatih kesabaran, toleransi, simpati, rendah hati, ramah, jujur, bijaksana, dan memiliki kesederhanaan. Dengan mempraktekkan ajaran-ajaran Sang Buddha dalan kehidupan sehari-hari anak, tersebut telah dapat menjaga nama baik dan kehormatan keluarga.

4. Mempertahankan kekayaan keluarga.

Hasil jerih payah orang tua selama hidup merupakan harta warisan yang perlu di jaga agar dapat membawa manfaat. Anak-anak harus memanfaatkan harta tersebut dangan sebaik-baiknya untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.

5. Memberikan jasa-jasa kebahagiaan kepada orang tuanya yang telah meninggal dunia.

Setelah orang tua meninggal dunia, anak-anak patut melakukan pattidana atau berbuat jasa kebaikan yang dilimpahkan kepada orang tuanya yang telah meninggal dunia tersebut. Jasa-jasa kebaikan yang dapat dilakukan oleh anak itu antara lain:

  1. Memanjatkan paritta-paritta suci
  2. Mencetak buku-buku Dhamma.
  3. Berdana kepada vihara-vihara yang membutuhkan
  4. Mempersembahkan jubah, Makanan, obat-obatan kepada Bhikkhu Sangha.
  5. Melepas semua makhluk hidup, seperti burung, kura-kura, ikan.

Itulah lima kewajiban yang seyogyanya dilakukan oleh anak kepada orang tuanya. Anak-anak seyogyanya berbakti kepada orang tua ketika masih hidup, karena itu akan lebih besar manfaatnya jika dibandingkan setelah orang tua meninggal dunia. Anak-anak seyogyanya berusaha menyempatkan diri di antara kesibukan-kesibukannya untuk mengunjungi dan memperhatikan orang tuanya. Jika anak-anak membutuhkan cinta dan perhatian dari orang tuanya, maka sesungguhnya orang tua juga membutuhkan cinta dan perhatian dari anak-anaknya.

Dalam masyarakat kadang-kadang terjadi bahwa anak-anak yang sudah menikah mendapat banyak rintangan ketika ingin berbakti kepada orang tuanya. Anak laki-laki yang sudah menikah mungkin diancam oleh isterinya sedemikian rupa, sehingga ia takut dan mengikuti segala keinginan isterinya untuk tidak membantu dan memperhatikan orang tuanya.

Hal ini dapat pula terjadi terhadap anak-anak perempuan yang sudah menikah. Ia dilarang oleh suaminya untuk berhubungan dengan orang tuanya. Ia dilarang untuk membantu orang tuanya yang kadang-kadang memang sedang dalam kesulitan. Ia tidak didukung oleh suaminya ketika ingin berbakti kepada ornag tuanya, bahkan ia dikritik dan dicela. Akhirnya, ia akan menjadi ragu dan bimbang, dan kemudian berhenti berbakti kepada orang tuanya. Sebab, ia tidak memiliki keberanian untuk merealisasikan niat baiknya itu. Ia menyadari semua tindakannya yang keliru setelah orang tuanya meninggal dunia. Ia menyesal, tetapi terlambat. Yang ia dapat lakukan kemudian adalah pelimpahan jasa atau pattidana.

Sesungguhnya, umat Buddha yang baik tidak gentar terhadap kritikan dan celaan, apalagi dalam hal berbuat baik, seperti berbakti kepada orang tua. Sang Buddha pernah mengatakan, “ Janganlah berhenti berbuat baik hanya karena Anda dikritik. Jika Anda memiliki keberanian untuk melaksanakan perbuatan baik, walaupun dikritik, maka sesungguhnya Andalah orang besar dan dapat berhasil dimana pun.”

Sesungguhnya, anak-anak yang baik akan tetap berbakti kepada orang tuanya walaupun orang tuanya berwatak keras dan berkelakuan buruk. Anak-anak yang baik akan menyadari kebenaran hukum karma, bahwa ia bisa mempunyai orang tua yang berwatak keras dan berkelakuan buruk itu juga disebabkan oleh karma lalunya yang kurang baik. Anak-anak yang baik tidak akan mencela dan membenci orang tuanya yang berbuat salah, karena ia meyadari bahwa orang tuanya yang belum mencapai kesucian itu masih bisa berbuat salah. Anak-anak yang baik tidak akan menganiaya atau membunuh orang tuanya yang mencaci makinya, karena ia memiliki hiri dan ottappa. Anak-anak yang baik akan dapat menerima kenyataan bahwa orang tuanya memiliki kekurangan-kekurangan. Anak-anak yang baik akan memberikan maaf kepada orang tuanya yang melakukan kesalahan-kesalahan. Selanjutnya, anak-anak yang baik akan berusaha melihat sifat-sifat baik yang dimiliki oleh orang tuanya, dan berusaha menyayangi orang tuanya dengan sepenuh hati, serta membimbing orang tuanya ke jalan yang benar dengan cara yang bijaksana.

Dalam Angguttara Nikaya Bab IV ayat 2, Sang Buddha juga memberikan petunjuk mengenai cara terbaik untuk membalas budi dan jasa kebaikan orang tuanya, yaitu sebagai berikut :

“ Apabila anak dapat mendorong orang tuanya yang belum mempunyai keyakinan terhadap Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha), sehingga mempunyai keyakinan kepada Tiratana; apabila anak dapat membuka mata hati orang tua untuk hidup sesuai dengan Dhamma, membimbing mereka untuk memupuk kamma baik, berdana, melaksanakan sila, mengorong mereka mengembangkan kebijaksanaan, maka anak tersebut dapat membalas budi dan jasa-jasa kebaikan orang tuanya.”

Sesungguhnya, dengan berbuat demikian, selain anak tersebut telah membalas jasa-jasa orang tuanya, ia juga telah menumpuk karma-karma baik bagi dirinya sendiri.

Sumber :
BAKTI ANAK KEPADA ORANG TUA ( Kumpulan Tulisan)
Oleh : Mettadewi W., S.H., Ag.
Diterbitkan oleh Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta
Cetakan pertama, Juli 1999

KEHIDUPAN TIDAK PASTI, NAMUN KEMATIAN ITU PASTI
(LIFE IS UNCERTAIN, DEAD IS CERTAIN)
Oleh: Ven. Dr. K. Sri Dhammananda

Sang Buddha bersabda: “Kehidupan tidak pasti, namun kematian itu pasti”. Setelah menyadari dengan jelas bahwa kematian pasti akan datang dan merupakan suatu akhir yang wajar, serta harus dihadapi setiap makhluk maka sebenarnya kita tidak perlu takut akan kematian. Namun, kenyataannya masih banyak diantara kita yang merasa takut menghadapinya. Karena itu kita tidak ingin mengingat-ingat bahwa kematian itu tak terelakkan dan kita ingin terus melekat pada kehidupan tercinta ini.

Lahirnya seorang anak ke dunia membawa kebahagiaan dan kegembiraan bagi seluruh sanak keluarganya. Bahkan, sang ibu merasa sangat puas dan bahagia walau ia harus menanggung penderitaan yang hebat pada saat melahirkan. Ia merasa semua kesulitan dan penderitaan yang dialaminya cukup berharga untuk itu. Namun, sang anak pada waktu kelahirannya di dunia ini juga menunjukkan penderitaan yang turut ditanggungnya dengan menangis.

Kemudian sang anak tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Ia melakukan berbagai perbuatan baik dan buruk. Dari dewasa kemudian menjadi tua dan akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini dengan meninggalkan sanak keluarga dalam kesedihan yang dalam. Demikianlah alur kehidupan seorang manusia yang senantiasa berusaha membebaskan diri dari perangkap kematian ini, namun tak seorangpun yang mampu mengatasinya. Dengan pikiran yang berputar-putar di sekitar tabungan kekayaan yang telah dikumpulkannya dan terus-menerus mengkhawatirkan anak-anak tersayang yang berkumpul mengelilinginya, serta tidak ketinggalan pula selalu menjaga dan memperhatikan kesehatan tubuhnya.

Akan tetapi walaupun telah dirawat dengan hati-hati dan penuh perhatian, tetap akan kian lapuk dan melemah, yang akhirnya menimbulkan suatu kesedihan harus berpisah dengan tubuhnya tercinta. Hal demikian memang sukar diterima oleh kita, namun tak dapat dihindarkan oleh setiap orang, dan cara yang biasa ditempuh oleh kebanyakan orang dalam meninggalkan dunia ini adalah dengan keluh kesah dan ratap tangis. Kematian yang datang tiba-tiba telah dipandang sangat menakutkan, dan sikap ini timbul karena ketidak-tahuan mereka.


RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN


Manusia merasa terganggu bukan hanya diakibatkan oleh sebab-sebab dari luar, tetapi juga oleh sebab-sebab dari dalam, seperti misalnya pandangan mereka terhadap kematian. Hal ini sebenarnya tidak perlu ditakutkan, karena rasa takut dan ngeri hanya muncul di dalam pikiran kita. Keharusan untuk menerima kenyataan akan penderitaan sering menyakitkan, terutama bagi pikiran yang tidak mampu menghadapinya. Namun, hal ini dapat membantu mengurangi atau menghilangkan perasaan takut dalam menghadapi kematian. Sekali kehidupan dimulai, akan terus berlangsung seperti peluru yang meluncur menuju ke sasarannya, yaitu kematian.

Setelah menyadari hal ini, kita harus berani berhadapan muka dengan kefanaan kita sendiri, dan apabila kita ingin dipandang sebagai manusia yang bebas dalam kehidupan, maka kita harus bebas dari rasa takut terhadap kematian. Kita telah mengetahui bahwa ilmu pengetahuan mengajarkan tentang proses kematian, yakni bahwa kematian hanya merupakan suatu proses pelapukan fisik dari tubuh manusia. Karena itu kita tidak perlu membohongi diri sendiri dengan bayang-bayang atau khayalan-khayalan menyeramkan yang tak pernah terwujud. Seorang dokter termasyur, Sir Williams Oslet mengatakan: “Menurut pengalaman saya yang cukup lama di bidang kedokteran, sebenarnya banyak orang yang meninggal tanpa rasa sakit atau takut.”

Seorang perawat berpengalaman menceritakan pengalamannya sebagai berikut: “Bagiku selalu tampak sebagai suatu tragedi besar bahwa demikian banyak orang yang sepanjang hidup mereka dihantui ketakutan akan kematian, namun ketika saatnya tiba mereka akan menyadari bahwa kematian sama wajarnya seperti kehidupan itu sendiri dan hanya sedikit orang yang merasa takut pada saat menjelang kematiannya. Sepanjang pengalaman saya, hanya satu orang yang kelihatannya merasa ngeri, yakni seorang wanita yang telah berbuat salah terhadap saudara perempuannya, dan kesalahan itu sudah terlambat untuk diperbaiki kembali. Sesuatu yang indah dan mengherankan terjadi pada mereka yang telah tiba di penghujung jalan kehidupan mereka; semua rasa takut dan kengerian hilang lenyap. Saya seringkali mengamati kebahagiaan yang terpancar dari mata mereka pada saat-saat terakhir kehidupan mereka.

Kemelekatan terhadap kehidupan di dunia telah menciptakan rasa takut yang tidak wajar atas kematian, juga dapat menciptakan orang-orang Hypochordriac, yakni orang yang tidak pernah berani mengambil resiko, bahkan untuk sesuatu yang benar sekalipun. Orang-orang seperti itu hidup dalam ketakutan bahwa sesuatu penyakit atau kecelakaan dapat memutuskan hidup mereka yang begitu berharga dan sangat dicintainya. Dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan, maka orang-orang yang mencintai hidup di dunia ini akan pergi berdoa untuk menyatakan harapan mereka, agar jiwa mereka diterima di surga. Namun, tak seorangpun dapat berbahagia dengan godaan rasa takut dan harapan seperti itu. Akan tetapi nampaknya sukar bagi kita untuk mencela atau tidak mau tahu atas segala perwujudan naluriah untuk keselamatan diri mereka tersebut.

Hanya ada satu cara untuk mengatasi hal tersebut, yakni dengan cara melupakan kepentingan pribadi dan berusaha menolong orang lain disertai pancaran kasih sayang dari dalam diri kita, yaitu dengan mengembangkan pelayanan kemanusiaan dan mencurahkan kasih sayang terhadap semua makhluk. Karena melalui peningkatan pelayanan terhadap orang lain, maka anda akan segera menyadari sendiri bahwa segala harapan dan kemelekatan yang mementingkan diri sendiri, kesombongan dan anggapan hanya diri sendiri benar adalah tidak bermanfaat sama sekali.


PENYAKIT DAN KEMATIAN


Diserang penyakit ataupun kematian merupakan gejala-gejala yang wajar dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kita dan semua itu harus diterima dengan keseimbangan batin. Menurut teori Ilmu Jiwa Modern, tekanan mental yang berat dan hebat disebabkan oleh penolakan kita untuk menghadapi dan menerima kenyataan-kenyataan hidup. Tekanan-tekanan tersebut bila tidak diatasi akan dapat menimbulkan penyakit fisik yang hebat, dan apabila kita membiarkan perasaan cemas dan sedih yang tidak pada tempatnya dalam menghadapi suatu masalah, malah akan dapat
memperburuk keadaan.

Kematian tidak seharusnya ditakuti oleh mereka yang bersih dalam pikiran dan perbuatan. Kita hanya merupakan bagian kehidupan dari alam semesta, oleh karena itu pada hakekatnya tidak ada suatu pribadi individu yang meninggal dunia. Sisa-sisa karma sebagai hasil buruk yang muncul dari perbuatan jahat di masa lampau dapat mengikuti kita pada kelahiran kita yang berikutnya, dan menyebabkan kita harus memikul penderitaan akibat karma pada kehidupan yang lalu.

Kejadian semacam itu dapat dihindari jika kita selalu berusaha mengumpulkan jasa-jasa kebaikan, dengan cara menjalani kehidupan yang baik dan banyak melakukan perbuatan baik di mana saja dan setiap saat bila memungkinkan. Dengan melakukan hal itu kita dapat menghadapi masa depan tanpa rasa takut dan penuh keyakinan. Kita harus berani menghadapi dan menerima kenyataan, sesuai dengan ajaran Sang Buddha bahwa tidak ada “Juru Selamat” yang dapat diserahkan untuk memikul beban kita agar terbebas dari akibat perbuatan jahat yang pernah kita lakukan.

Kita harus kerapkali mengingatkan diri sendiri akan nasihat Sang Buddha: “Jadikanlah dirimu sebagai pulau dan pelindung bagi dirimu sendiri dengan bekerja dan berusaha yang giat”. Umat Buddha tidak seharusnya tenggelam ke dalam ratap tangis dan kesedihan yang hebat dalam menghadapi kematian dari sanak saudara ataupun teman-teman mereka, karena roda kehidupan terus berputar tanpa hentinya. Bila seseorang meninggal dan hasil perbuatannya (karma) menjadikannya suatu makhluk baru, mereka yang ditinggalkan harus menerima kematian tersebut dengan ketenangan, keluhuran budi dan pengertian bahwa kematian hanya merupakan suatu proses yang tak terhindarkan di dunia ini.

Hal ini merupakan sesuatu yang pasti terjadi di alam semesta, dan kita tahu bahwa hutan bisa menjadi kota dan kota dapat menjadi padang pasir, serta gunung dapat berubah menjadi danau.

Ketidak pastian terdapat di mana-mana, namun hanya ada satu hal yang pasti, yakni “kematian” dan semua hal lain hanyalah bersifat sementara. Kita semua mempunyai nenek moyang dan nenek moyang kita pun mempunyai nenek moyang juga, namun di mana mereka kini berada? Mereka telah pergi ke “Gerbang Kematian”.

Janganlah menganggap bahwa pandangan pesimis terhadap kehidupan yang dimunculkan di sini merupakan pandangan yang paling sesuai dengan kenyataan dari semua kenyataan. Untuk apa kita menghindari diri dari kenyataan dan menutup mata kita terhadap suatu kenyataan yang sudah pasti, karena bukankah kematian itu mencakup segala hal? Maka janganlah kita sampai melupakannya. Peranan kematian adalah untuk menyadarkan setiap manusia akan akhir kehidupannya, bahwa betapa tinggi pun tempatnya, apapun bantuan teknologi ataupun Ilmu Kedokteran yang dimilikinya, pada akhirnya tetap harus mengalami hal yang sama, apakah di dalam kubur ataupun menjadi segenggam debu. Haruskah karena hal itu kita kemudian mengenakan kain karung dan meratapi kehidupan yang telah menjadi debu? Tidak! Hal demikian bukanlah merupakan tujuan hidup, bukan pula tujuan dari kematian, karena proses kelahiran dan kematian akan terus berlangsung hingga kita mencapai kesempurnaan batin.


EKSISTENSI PENGARUH MANUSIA


Sang Buddha berkata: “Tubuh manusia dapat berubah menjadi debu, namun pengaruhnya tetap bertahan”. Pengaruh kehidupan yang telah berlalu kadang-kadang dapat menjangkau waktu yang lebih jauh dan lebih potensial bila dibandingkan dengan masa hidup seseorang yang mempunyai batas-batas waktu tertentu. Seringkali kita bertindak berdasarkan ilham dari kepribadian-kepribadian yang pemiliknya telah menjadi debu. Dalam tindak-tanduk kita hasil-hasil pikiran mereka juga memainkan peranan penting. Setiap manusia yang hidup di dunia ini dapat dikatakan merupakan susunan dari semua nenek moyang yang telah mendahului kita. Dengan anggapan semacam ini, maka para pahlawan di masa lampau, para filsuf terkemuka, para pertapa, penyair dan para seniman musik dari keturunan apapun, karya mereka tetap ada bersama kita.

Bila kita menghubung-hubungkan diri sendiri dengan orang-orang suci dan para pemikir di masa lampau kita dapat memperoleh kebijaksanaan hasil pemikiran mereka, ide-ide mulia mereka dan bahkan musik klasik yang abadi. Karena walaupun tubuh mereka sudah lama musnah, namun pengaruh mereka masih tetap hidup hingga kini. “Tubuh” ini bukan merupakan apa-apa selain perwujudan abstrak dari kombinasi unsur-unsur kimia yang terus-menerus berubah. Maka insan manusia yang menyadari bahwa hidup mereka hanya seperti setetes air di sungai yang terus mengalir, akan merasa bahagia bila dapat memberi andil bagi arus besar yang disebut kehidupan.

Insan manusia yang lupa akan kewajaran hidup mereka akan terhempas di dunia ini. Ia meratap, bersedih dan kadang-kadang tersenyum hanyalah untuk menangis kembali. Namun bila ia menyadari akan kewajaran hidup yang sesungguhnya, maka ia akan melepaskan semua benda-benda yang bersifat sementara untuk mencari keabadian, ia harus menghadapi kematian yang berulang-ulang, karena kematian itu sendiri sukar untuk dihindari. Tidakkah manusia harus berusaha untuk mengatasi putaran kelahiran dan kematian yang terus-menerus ini?

Menurut agama Buddha, kehidupan kita bukanlah kehidupan pertama atau terakhir yang harus kita jalani di dunia ini. Jika kita berbuat baik, maka akan mendapatkan hidup yang lebih baik pada kehidupan mendatang. Di samping itu, bila kita tidak ingin terlahir kembali, maka harus berjuang mencapai kebebasan akhir dengan selalu berusaha mengikis semua kekotoran batin yang ada pada pikiran kita.


FILSAFAT AGAMA BUDDHA

Para orang suci yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi tidak meratapi meninggalnya sanak kerabat mereka, karena mereka telah mengikis habis semua emosi manusiawinya. Yang Ariya Arahat Anuruddha tidak menangis ketika Sang Buddha Gotama wafat, namun Yang Ariya Ananda yang ketika itu baru mencapai tingkat kesucian Sotapanna atau Yang Masih Belajar, telah menunjukkan kesedihannya. Bhikkhu Ananda yang bersedih tersebut masih harus diingatkan mengenai pandangan Sang Buddha terhadap kematian melalui kata-kata sebagai berikut:

“Ananda, bukankah Sang Buddha pernah mengatakan pada kita bahwa segala sesuatu yang dilahirkan, yang muncul, yang terbentuk, akan lenyap kembali? Ini merupakan sifat dari semua bentuk yang bersyarat, yakni muncul dan akan lenyap kembali. Dengan menyadari bahwa semua itu akan lenyap kembali, maka muncullah kedamaian dan kemuliaan”.
Kata-kata ini menguraikan suatu dasar yang di atasnya dibangun bangunan Filsafat Agama Buddha.


PENYEBAB KESEDIHAN


Sebab dari kesedihan dan penderitaan kita ialah kemelekatan (Tanha) dalam segala bentuknya. Jika kita ingin menghentikan kesedihan, maka kita harus membuang kemelekatan, baik kemelekatan terhadap manusia maupun terhadap harta benda. Hal ini merupakan pelajaran kebenaran tentang kematian, karena kematian akan menyerang dan mengisi hidup kita dengan kengerian, kecuali bila kita telah dapat memahaminya. Kenyataan ini dengan indah telah dibabarkan oleh Sang Buddha melalui sabda berikut ini: “Kematian akan menyeret manusia yang melekat pada anak-anak dan harta bendanya, bagaikan banjir besar menyeret desa yang tertidur”.

Dalam peribahasa tersebut tersirat makna bahwa bila desa itu tidak tertidur namun terjaga dengan waspada, maka kerugian yang ditimbulkan oleh banjir tersebut akan dapat berkurang jauh.


KEMATIAN BERLAKU BAGI SELURUH ALAM SEMESTA


Marilah kita melihat bagaimana Sang Buddha menyelesaikan masalah kematian yang menimpa diri dua orang, yang karena kemelekatan mereka telah menderita kesedihan hebat akibat adanya kematian. Pertama adalah kisagotami yang putra tunggalnya meninggal dunia setelah digigit seekor ular. Ia pergi menemui Sang Buddha sambil menggendong mayat putranya untuk memohon pertolongan agar menghidupkannya kembali. Sang Buddha memintanya membawa segenggam biji lada dari satu keluarga yang tidak pernah mengalami kematian, namun ia tidak dapat menemukan keluarga seperti itu. Setiap rumah yang didatangi sedang berkabung atau pernah berkabung atas kematian orang tua ataupun sanak saudara mereka. Akhirnya ia dapat menyadari kenyataan hidup yang pahit ini. Kematian berlaku dimana-mana. Kematian akan menyerang semua makhluk dan tak satupun yang dapat terlolos darinya. Karena itu kesedihan merupakan warisan bagi semua orang.

Orang kedua yang mendapat pertolongan dan bimbingan Sang Buddha adalah Patacara. Hal yang dialaminya jauh lebih menyedihkan, yakni dalam waktu yang singkat ia telah kehilangan kedua putranya, suami, saudara, orang tua, dan seluruh harta bendanya, bahkan kehilangan akalnya. Ia berlari-lari dengan bertelanjang dan liar di jalan-jalan hingga akhirnya berjumpa dengan Sang Buddha. Sang Buddha telah membuatnya waras kembali dengan menjelaskan bahwa kematian harus dapat kita terima sebagai suatu gejala yang wajar bagi setiap makhluk hidup.

Sang Buddha berkata: “Engkau telah menderita dari keadaan yang serupa bukan hanya sekali, Patacara. Namun telah berulang kali selama kelahiran-kelahiran terdahulu. Untuk waktu yang lama sekali engkau telah menderita akibat kematian ayah dan ibu, anak dan sanak kerabat. Selama engkau menderita telah meneteskan air mata lebih banyak dibandingkan dengan air yang ada di samudra”.
Pada akhir pembicaraan tersebut, Patacara menyadari akan ketidak-pastian dari kehidupan ini.

Baik Patacara maupun Kisagotami dapat memahami penderitaan dari pengalaman tragis mereka sendiri. Dengan menyadari sungguh-sungguh akan Kesunyataan Mulia yang pertama yakni “Penderitaan”, maka ketiga Kesunyataan Mulia lainnya juga akan dapat dipahami. Sang Buddha bersabda: “Barang siapa yang mengerti akan penderitaan, juga akan mengerti munculnya penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan untuk melenyapkan penderitaan”.


LIMA KELOMPOK KEHIDUPAN


Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kitab suci Agama Buddha adalah hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri dari pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran dan tubuh jasmani atau materi. Keempat kelompok yang pertama adalah kelompok batin atau NAMA yang membentuk suatu kesatuan kesadaran. Kelompok kelima adalah RUPA, yakni kelompok fisik atau materi. Gabungan batin dan jasmani ini secara umum dinamakan individu, pribadi atau ego. Sebenarnya apa yang ada bukanlah merupakan suatu individu yang berwujud seperti itu. Namun dua unsur pembentuk utama, yakni NAMA dan RUPA hanya merupakan fenomena belaka. Kita tidak melihat bahwa kelima kelompok ini sebagai fenomena, namun menganggapnya sebagai pribadi karena kebodohan pikiran kita, juga karena keinginan terpendam untuk memperlakukannya sebagai pribadi serta untuk melayani kepentingan kita.

Kita akan mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bilamana memiliki kesadaran dan keinginan untuk melakukannya, yakni bila kita ingin melihat ke dalam pikiran sendiri dan mencatat dengan penuh perhatian (Sati). Mencatat secara objektif tanpa memproyeksikan suatu ego ke dalam proses ini dan kemudian mengembangkan latihan tersebut untuk waktu yang cukup lama, sebagaimana telah diajarkan oleh Sang Buddha dalam SATIPATHANA SUTTA. Maka kita akan melihat bahwa kelima kelompok ini bukan sebagai suatu pribadi lagi, melainkan sebagai suatu serial dari proses fisik dan mental. Dengan demikian kita tidak akan menyalahartikan kepalsuan sebagai kebenaran. Lalu kita akan dapat melihat bahwa kelompok-kelompok tersebut muncul dan lenyap secara berturut-turut hanya dalam sekejap, tak pernah sama untuk dua saat yang berbeda; tak pernah diam namun selalu dalam keadaan mengalir; tak pernah dalam keadaan yang sedang berlangsung namun selalu dalam keadaan terbentuk.

Masa berlangsungnya kelompok-kelompok mental ini sangat singkat sedemikian rupa, sehingga selama satu kilatan cahaya halilintar telah terjadi beribu-ibu bentuk pikiran atau saat berpikir yang berturutan dalam pikiran kita. Kelompok materi atau jasmani berlangsung sedikit lebih lama, yakni kira-kira tujuh belas kali dari saat berpikir tersebut. Karena itu setiap saat sepanjang kehidupan kita, bentuk-bentuk pikiran muncul dan lenyap. Lenyapnya yang dalam waktu sekejap mata ini merupakan suatu bentuk dari kematian.

Lenyapnya elemen-elemen dalam waktu sekejap ini tidaklah jelas, karena kelompok-kelompok yang berturutan akan muncul dengan segera untuk menggantikan yang lenyap, dan mereka inipun muncul dan lenyap sebagaimana terjadi dengan hal-hal terdahulu. Inilah yang kita katakan sebagai “Terus berlangsungnya kehidupan”.

Namun dengan berjalannya waktu, maka kelompok materi atau jasmani kehilangan kekuatannya dan mulai terjadi kelapukan. Saatnya akan tiba di mana kelompok-kelompok ini tidak dapat berfungsi lebih lanjut, dan menurut istilah yang biasa dipakai inilah akhir dari suatu kehidupan yang kita sebut sebagai “Terjadinya kematian”.


KELAHIRAN KEMBALI


Namun, keempat kelompok mental, yaitu: kesadaran dan ketiga kelompok mental lainnya yang membentuk “NAMA” atau “KESATUAN KESADARAN” akan terus berlangsung tanpa berhenti. Muncul dan lenyap seperti semula, walaupun tidak pada tempat yang sama, karena tempat terdahulu telah tiada. Kelompok-kelompok mental ini harus segera menemukan suatu landasan fisik yang baru seperti saat sebelumnya agar ia dapat berfungsi dengan serasi. Hukum karmalah yang melakukan kesemua ini, yakni dengan segera menempatkan kembali kelompokkelompok tersebut, yang kita kenal sebagai “KELAHIRAN KEMBALI”.

Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa sesuai dengan Ajaran Agama Buddha, tidak dikenal adanya perpindahan jiwa suatu inti dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Menurut filsafat agama Buddha, apa yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa “JAVANA” atau “PROSES BERPIKIR AKTIF YANG TERAKHIR” dari orang yang meninggal dunia telah melepaskan kekuatan-kekuatan tertentu, yang bervariasi sesuai dengan kesucian dari kelima saat berpikir Javana dalam serial tersebut (Lima, bukannya tujuh saat berpikir Javana seperti pada keadaan normal). Kekuatan-kekuatan ini disebut “KAMMA VEGA” atau “TENAGA KARMA” yang mendekatkan diri pada suatu landasan materi yang dihasilkan oleh sepasang orang tua dalam rahim seorang ibu. Kelompok materi dalam gabungan benih ini harus memiliki sifat yang sesuai untuk menerima jenis tertentu dari tenaga karma tersebut.

Pendekatan diri dengan cara ini dari berbagai jenis kelompok jasmani yang dihasilkan oleh sepasang orang tua, terjadi melalui bekerjanya kematian yang memberikan suatu peluang bagi kelahiran kembali yang menguntungkan pada seseorang yang meninggal dunia. Namun pikiran yang tidak baik akan menghasilkan suatu kelahiran kembali yang tidak menyenangkan.


KUMPULAN UNSUR DAN TENAGA


Secara singkat dapat kita katakan bahwa kombinasi dari kelima kelompok disebut “kelahiran”. Munculnya kelompok-kelompok tersebut dalam suatu kumpulan disebut “kehidupan”, sedangkan lenyapnya kelompok-kelompok tersebut disebut “kematian”, dan penggabungan kembali kelompok-kelompok ini disebut “kelahiran kembali”. Namun tidaklah mudah bagi seorang manusia biasa untuk mengerti bagaimana kelompok-kelompok tersebut bergabung kembali.

Dalam hal ini pengertian yang benar akan sifat tenaga-tenaga karma, mental dan unsur-unsur, serta kerja sama tenaga-tenaga alam semesta adalah sangat penting kita ketahui. Bagi sementara orang kejadian yang sederhana dan wajar ini, yakni kematian hanya berarti meleburnya kelima unsur dengan kelima unsur yang sama, sehingga menurut mereka tidak ada yang tersisa.

Sementara itu ada pula kelompok orang yang berpendapat bahwa kematian adalah berpindahnya jiwa dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Ada juga kelompok yang menganggap kematian itu merupakan masa transisi yang tak terbatas dari jiwa, atau dengan kata lain kematian adalah menunggu hari pengadilan (akhir). Bagi umat Buddha, kematian hanya merupakan akhir sementara dari gejala yang bersifat sementara, dan kematian bukan merupakan kemusnahan total dari suatu makhluk.


SEBAB-SEBAB TERJADINYA KEMATIAN


Menurut agama Buddha, kematian dapat terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
(i) Kematian dapat disebabkan oleh habisnya masa hidup sesuatu makhluk tertentu. Kematian semacam ini disebut “AYU-KHAYA”.
(ii) Kematian yang disebabkan oleh habisnya tenaga karma yang telah membuat terjadinya kelahiran dari makhluk yang meninggal tersebut. Hal ini disebut“KAMMA-KHAYA”.
(iii) Kematian yang disebabkan oleh berakhirnya kedua sebab tersebut di atas, yang terjadi secara berturut-turut. Disebut “UBHAYAKKHAYA”.
(iv) Kematian yang disebabkan oleh keadaan luar, yaitu: kecelakaan, kejadian-kejadian yang tidak pada waktunya, atau bekerjanya gejala alam dari suatu karma akibat kelahiran terdahulu yang tidak termasuk dalam butir (iii) di atas. Disebut“UPACHEDAKKA”.

Ada suatu perumpamaan yang tepat sekali untuk menjelaskan keempat macam kematian ini, yaitu perumpamaan dari sebuah lampu minyak yang cahayanya diibaratkan sebagai kehidupan. Cahaya dari lampu minyak dapat padam akibat salah satu sebab berikut ini:

(i) Sumbu dalam lampu telah habis terbakar. Hal ini serupa dengan kematian akibat berakhirnya masa hidup suatu makhluk.
(ii) Habisnya minyak dalam lampu seperti halnya dengan kematian akibat berakhirnya tenaga karma.
(iii) Habisnya minyak dalam lampu dan terbakar habisnya sumbu lampu pada saat bersamaan, sama halnya seperti kematian akibat kombinasi dari sebab-sebab yang diuraikan pada butir (i) dan (ii) di atas.
(iv) Pengaruh dari faktor luar, misalnya ada angin yang meniup padam api lampu. Sama halnya seperti kematian yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar.

Oleh karena itu karma bukan merupakan satu-satunya sebab dari kematian. Dalam Anguttara Nikaya dan Kitab-kitab lainnya, Sang Buddha menyatakan dengan pasti bahwa karma bukan merupakan penyebab dari segala hal.


CARA MENGHADAPI KENYATAAN


Bagaimana cara terbaik bagi seseorang dalam menghadapi peristiwa kematian yang tak terelakkan ini? Terlebih dahulu kita harus menyadari dan merenungkan bahwa kematian akan dan pasti tiba dalam waktu yang cepat atau lambat. Akan tetapi hal ini bukanlah berarti umat Buddha harus memandang kehidupan dengan suram, karena kematian merupakan kenyataan dan harus dihadapi oleh setiap makhluk. Buddha-Dhamma adalah suatu agama atau Ajaran yang dapat diterima oleh akal pikiran dan umat Buddha dilatih untuk menghadapi kenyataan yang kadang-kadang tidak menyenangkan. Guru Nanak berkata: “Dunia mencemaskan kematian, tetapi bagiku kematian itu membawa kebahagiaan”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa orang-orang besar dan mulia tidak takut akan kematian, dan mereka selalu siap menghadapinya. Banyak orang besar yang telah mengorbankan hidup mereka demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak.

Nama-nama mereka tercatat dalam sejarah dunia dengan tinta emas. Pemimpin besar Amerika, Saul Alinsky berkata: “Satu hal terpenting yang pernah saya pelajari adalah bahwa saya akan mengalami kematian, dan sekali anda dapat menerima kematianmu sendiri, maka seketika itu juga anda bebas untuk hidup. Anda tidak lagi peduli dan selama hidup dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai suatu tujuan yang anda yakini”. Hal ini merupakan cara pribadi-pribadi besar memandang konsep tentang kematian.


KEMATIAN TAK TERELAKKAN


Tampaknya agak bertentangan bahwa meskipun kita seringkali melihat kematian yang menghentikan kehidupan, namun kita jarang sekali berhenti untuk merenungkan bahwa kitapun dapat dengan segera menjadi korban maut. Karena keterikatan kita yang kuat terhadap kehidupan, maka merasa segan untuk membawa-bawa pikiran yang menakutkan tersebut. Walaupun
merupakan suatu kenyataan bahwa kematian adalah suatu kejadian yang pasti. Namun kita lebih suka menyingkirkan pikiran yang menakutkan ini sejauh mungkin, dan menipu diri sendiri dengan menganggap bahwa kematian hanya merupakan gejala yang jauh dan tidak perlu dirisaukan. Kita harus mempunyai cukup keberanian untuk menghadapi kenyataan tersebut dan harus siap menerima bahwa kematian merupakan kejadian yang nyata. Jika kita dapat menghargai peristiwa seperti itu dan melengkapi diri dengan kesadaran bahwa kematian merupakan suatu peristiwa tak terelakkan, yang harus diterima sebagai suatu kejadian biasa dan bukan merupakan suatu peristiwa yang menakutkan, maka kita akan mampu menghadapi, bilamana peristiwa itu tiba, dengan ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri.


TUGAS DAN KEWAJIBAN KITA


Setelah mengetahui bahwa kematian akan menghampiri kita pada suatu saat, maka kita harus dapat memutuskan dengan ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri yang sama untuk melepaskan tugas dan kewajiban kita pada generasi penerus. Kita tidak boleh berleha-leha dan menunda hingga besok hal-hal yang dapat kita kerjakan hari ini. Kita harus dapat menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dan menjalankan kehidupan yang bermanfaat. Tugas terhadap istri atau suami dan anak-anak harus dijalankan dalam waktu yang sama. Kita harus melaksanakan keinginan dan wasiat terakhir tanpa menunggu saat-saat yang terakhir, sehingga di kemudian hari tidak menimbulkan kesulitan dan masalah akibat dari kelalaian kesulitan dan masalah akibat dari kelalaian itu. Kematian dapat memanggil setiap saat dan tidak mengenal waktu, oleh sebab itu kita harus mampu menghadapi saat-saat terakhir dengan berani dan tenang.


KESERAKAHAN DAN KEBODOHAN


Dapatkah kematian diatasi? Jawabannya adalah dapat! Kematian terjadi karena adanya kelahiran. Hal ini merupakan dua mata rantai dalam lingkaran kehidupan yang dikenal dengan nama“PATTICA SAMUPPADA”, dan keseluruhannya ada dua belas mata rantai dalam lingkaran tersebut, yang beberapa di antaranya adalah KILESA atau KEKOTORAN BATIN. Beberapa karma atau perbuatan menimbulkan VIPAKA atau HASIL (dalam lingkaran kehidupan ini) dan VIPAKA ini terjadi berulang-ulang. Pengulangan dari kelahiran yang tak terhitung ini disebut SAMSARA. Jika kita ingin menghentikan lingkaran kehidupan ini hanyalah dengan cara memotongnya pada tahap kekotoran batin, yaitu: AVIJJA (kebodohan) dan TANHA (nafsu keinginan). Inilah akar-akar dalam lingkaran kelahiran yang harus dimusnahkan, karena itu jika kita dapat memotong nafsu keinginan dan kebodohan, maka kelahiran akan dapat diatasi dan sekaligus kematian juga dapat diatasi, sehingga Samsara teratasi dan tercapailah NIBBANA.


SEGALA SESUATU ADALAH TIDAK PASTI


Kita harus berusaha mengerti bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini adalah tidak pasti. Kehidupan hanyalah suatu khayalan dan bayangan. Bila kita mengadakan analisa terhadap segala sesuatu, baik secara ilmu pengetahuan ataupun secara filosofis, maka akhirnya kita tidak akan menemukan apa-apa, kecuali kekosongan.

Menurut Sang Buddha, ketidak-kekalan, ketidak-puasan dan ketidak-mampuan untuk menguasai di dalam segala hal merupakan gejala yang wajar dalam alam semesta ini. Mereka yang telah memahami ketiga sifat ini akan terbebas dari ketakutan yang tidak perlu, ketegangan, kekecewaan dan kesedihan. Hanya dengan menyadari kebenaran universal inilah kita akan dapat mempertahankan kedamaian dan ketenangan di dalam diri kita.

Penerjemah : Tidak tercantum
Sumber :internet

Sejarah Bendera Buddhis Internasional dan Arti Warna Bendera

Sejarah Bendera Buddhis Internasional
dan Arti Warna Bendera

Untuk menentukan simbol suatu bangsa atau negara maupun kesatuan, biasanya ditandai dengan panji atau bendera. Untuk menciptakan simbol- simbol tersebut tidak sembarangan, karena merupakan suatu `pengenalan' yang otentik. Seperti halnya bendera negara Republik Indonesia yang hanya dua warna, merah dan putih, diakui dunia sebagai hasil ciptaan almarhumah Fatmawati, istri Presiden Pertama RI, Ir Soekarno.

Membicarakan hal ini, dalam memperkenalkan bendera Buddhis secara internasional pun memerlukan rancangan yang serius. Seperti yang dituturkan Col. HS. Olcott dalam bukunya yang berjudul "Old Dairy Leaves", tentang sejarah terciptanya Bendera Buddhis internasional.


Fundamental

PADA suatu ketika di bulan Februari 1885, kawan-kawanku dari Colombo (Sri -Lanka) yang tergabung dalam Panitia Pertahanan Buddhis Sri Lanka (Buddhis Defence Committee), mendapat sebuah gagasan untuk membuat bendera yang dapat menjadi symbol dan lambang yang kelak dapat diterima oleh semua sekte umat Buddha di dunia.

Hal tersebut merupakan sebuah ide yang teramat bagus. Dan ketika hal itu dicetuskan, dengan serta-merta saya sudah melihat adanya potensi dalam bendera semacam itu, yang kelak dapat menjadi lambang persatuan di kemudian hari.

"Hal tersebut akan dapat membantu usaha saya untuk mempersatukan umat Buddha di dunia, yang saya rintis sejak saya terjun dalam Buddha Dharma. Dengan adanya titik-titik ketidaksamaan yang begitu banyak antara ajaran agama Buddha aliran Utara dengan ajaran aliran Selatan, pekerjaan untuk mempersatukan pendapat mereka sungguh saya rasakan kesulitannya", ujar Olcott.

"Namun, melihat dasar fundamental, yang sama antara aliran Utara dan Selatan, maka saya masih mempunyai harapan untuk dapat mempersatukan pendapat mereka dalam merencanakan sebuah bendera persatuan yang dapat diterima oleh semua pihak", tulis Olcott selanjutnya.


Enam Warna

Dalam usaha merencanakan bendera Buddhis tersebut, saudara­saudara saya dari Sri Lanka telah mendapat sebuah pikiran yang sangat orisinil dan unik sekali. Mereka menyarankan, agar bendera Buddhis Internasional tersebut dibentuk dalam warna-warna aura atau cahaya yang ke luar dari badan Sang Buddha ketika Beliau mencapai kesucian di bawah Pohon Bodhi di Bodhgaya.

Mereka berpendapat, bendera yang dibuat dari warna-warna aura Sang Buddha, pasti dapat meniadakan perdebatan-perdebatan antar sekte. Semua sekte tanpa terkecuali, telah lama menerima tradisi warna aura Sang Buddha ini. Sama seperti yang telah mereka terima mengenai gambar dan bentuk patung-patung Sang Buddha.

Dalam tulisannya, Olcott selanjutnya mengatakan : "Kepada panitia, kami menyarankan agar bendera Buddhis tersebut tidak mempunyai atau mengandung arti politik dalam bentuk apapun. Dan harus mempunyai arti serta nilai keagamaan yang mendalam!".

Panitia kemudian membuat sketsa­sketsa percobaan dari calon bendera/ panji Buddha tersebut. Sebuah sketsa kemudian disarankan oleh panitia berbentuk sebuah bendera yang panjang berkelok-kelok seperti ular.

Menurut pendapat saya, bendera panjang tersebut tidak praktis, dan akan sulit untuk dibawa dalam prosesi. Dan juga bendera seperti itu tidak indah bila dipasang di dinding.

"Saya mengusulkan bentuk bendera yang biasa saja. Setelah contohnya selesai dibuat, bendera tersebut disetujui oleh seluruh anggota panitia dengan suara bulat. Dalam waktu singkat, bendera ini telah menawan hati umat Buddha.

Pada Hari Raya Waisak tahun 1885, bendera tersebut pertama kali mulai dikibarkan di hampir semua vihara dan rumah penduduk di Sri Lanka". demikian tulis Olcott.

Warna-warni yang terdapat pada bendera Buddhis adalah warna biru, kuning, merah, putih, dan jingga atau merah muda. Warna-warni ini disusun secara vertikal lalu disebelahnya ada kelima warna ini yang disusun secara horisontal. Setiap warna mempunyai arti yang berbeda. Warna-warni horisontal melambangkan perdamaian abadi dari ras-ras yang ada di dunia dan keharmonisan dalam kehidupan bersama. Warna vertikal melambangkan perdamaian di dalam dunia ini.
Secara singkat, bendera Buddhis memberikan makna bahwa tidak ada diskriminasi ras ataupun kebangsaan, kedaerahan ataupun warna kulit, bahwa semua makhluk mempunyai potensi mencapai kesucian menjadi Buddha dan mempunyai karakteristik kebuddhaan.

Secara lengkap, keenam warna tersebut adalah :

INDONESIA
INGGRIS
PALI
SANSKERTA
1. Biru Sapphire Blue Nila Nila
2. Kuning Emas Golden Yellow Pita Pita
3. Merah Tua Crimson Lohita Rohita
4. Putih White Avadata Avadata
5. Jingga Scarlet Mangasta Menjistha
6. Gabungan ke lima warna di atas A hue composes of the above five collours Prabhasvara Prabhasvara

Panji Buddhis Enam Warna atau Sadvarna Dvhaja tersebut bermakna :

1. Biru dari warna rambut Sang Buddha melambangkan bakti atau pengabdian
2. Kuning Emas dari warna kulit Sang Buddha melambangkan kebijaksanaan
3. Merah tua dari warna darah Sang Buddha melambang cinta kasih
4. Putih dari warna tulang dan gigi Sang Buddha melambang kesucian
5. Jingga adalah warna yang diambil dari warna telapak tangan, kaki dan bibir Sang Buddha yang melambangkan semangat
6. Gabungan kelima warna melambangkan gabungan kelima faktor yang telah disebutkan di atas.
Adapun makna sebenarnya istilah "Prabhasvara" adalah bersinar sangat terang atau cemerlang

Keterangan :
Colonel Henry Steel Olcott adalah salah satu pendiri Perhimpunan Theosofi dan Presiden Internasional yang pertama dari perhimpunan tersebut. Bersama-sama dengan Panitia Pertahanan Buddhis Sri Lanka yang diketuai oleh Sumangala Sthavira , ia berhasil menciptakan panji tersebut.
Dalam usia 75 tahun, beliau meninggal dunia di India pada tanggal 17 Februari 1907 setelah 32 tahun mengabdi sebagai Presiden Perhimpunan Theosofi.

Colonel Henry Steel Olcott
1832-1907

Senin, 15 Juni 2009

puisi

Dalam jejak

Dalam jejak jalan setapak yang menanjak

Nanar aku di kelelahan yang membuncah

Carrier hanyalah benda yang ingin kulempar saja ke jurang

Tapi itulah nyawa

Andai aku melemparnya

Itu berarti aku melempar nyawaku ke sana

Air….

Aku hanya ingin setetes air

Dahaga ini pasti hilang

Langkahku pasti semangat lagi

Lalu aku membalikkan tubuhku ke belakang

Ohh Tuhan....

Sungguh aku telah melupakan

Bahwa di belakangku membentang hamparan hijau yang tak terlukiskan kata

Kelu …. Subhanallah

Liku sungai itu, deretan bukit-bukit itu, awan yang susul menyusul itu,

Kota, Desa, sawah, ladang, danau, dan semua yang aku lihat sekarang

Sejenak aku merenung

Betapa aku hanyalah setitik nokhta dalam luasnya jagat raya

Siapa??? Aku bukan siapa-siapa

Kesombongan telah membawaku ke jalan setapak ini

Kesombongan menaklukkan puncak gunung

Kesombongan ketika mendapat pujian dari kawan, keluarga, kenalan

Bahwa inilah pendaki yang telah mencapai puncak

Bahwa inilah seorang pecinta alam sejati

Bahwa inilah…inilah…

Huh… tidaaaakkk, bukan itu, bukan!!

Aku menapak di sini sekedar ingin menikmati

Keindahan yang tak banyak orang yang menikmati

Sebuah harapan mendekati alam yang semakin menjauhi kehidupan

Sebuah tulus cinta untukmu

Sahabatku alam

(Maret 2002)

Kumenanti Seorang Pendaki

Kilau Matamu bagai riak banyu Segara Anak,

Sejuk menusuk hingga ke tulang rusuk

Kilas senyummu bagai cerah mentari di pagi hari

Ssenantiasa dinanti di puncak gunung ini

Bijak kata-katamu bagai semilir bayu di hamparan sabana Tengegean

Membuai siapa saja yang kelelahan

Lembut sapamu bak rangkaian awan di lazuardi

Dan tulus kasih sayangmu….

Bagai putih salju di puncak Jayawijaya , Himalaya, ataupun Alaska

Kekagumanmu pada gunung, pada langit, pada bumi, pada pengisinya

Adalah bukti keagungan cintamu pada Ilahi

Pendaki…

Katamu… gunung adalah pasak bumi

Hingga bumi tiada goyah oleh ganas hempasan samudera

Sehingga asamu bagai gunung

Tiada goyah oleh ganasnya gelombang kehidupan

Setangkai Edelweis lambang cinta abadi itu

Kudamba kau rangkaikan di hati

Bukan mawar bukan melati

Kuhanya ingin kembang cantigi

Sebagai pengobat luka hati yang akan kaubalutkan nanti

Pendaki….

Kepadamu sesungguhnya hendak kulabuhkan hati

Dalam lelah pencarian dalam penat penantian

Walau katamu lelaki tidaklah kamu saja

Namun kataku kuingin kamu saja

Hingga bila tubuh terbujur kaku

Kugenggam erat dalam pelukmu

Pendaki….

Dirimu ….

Yang kunanti!!!!

(Januari 2003)

Jejak

Andai jejak adalah masa lalu,

Maka ijinkanlah aku untuk terus menapaki jalan setapak ini

Karena itulah masa yang akan datang

Walau nafas tinggal satu helaan lagi, walau peluh tak menetes lagi

Dan darah tak mengalir lagi

Jiwa.. yang pasti itulah yang akan kubawa

Dan raga biarlah tercampak di hamparan sabana

Andai jejak itu adalah masa lalu

Biar aku mengenang saat-saat indah itu

Dalam pekat malam merayap di antara tebing-tebing sunyi

Menahan hampa dalam dekapan jauh sinar rembulan

Jiwa… biarlah tenang dalam dekapannya

Menghembus untuk terakhir kali

Dalam damai

Dalam naunganmu

Di sana

Di puncak tertinggi

(lupa tahun berapa...)

Rasa itu

Dulu….kepadamu aku mengeluh

Ratusan malam bercerita

Terdengar tidak terdengar olehmu

Hatiku selalu berbisik kepadamu

Menyuarakan rasa yang sebenarnya aku benci merasakannya

Karena rasa itu telah merenggut hari-hariku yang ceria

Ahhh, Sekali lagi aku bennnnci merasakannya

Bahwa aku ingin sekali melupakannya

Tapi……

Ternyata tak mudah untuk beranjak menanggalkan semua rasa yang telah ada

Mudah memang untuk berbicara

Bahwa luka hati tak kan selamanya

Tapi rasa itu adalah untuk selamanya

Ia datang untuk tinggal bukan untuk pergi

Akankah aku bisa melupakannya?

Karena aku sesungguhnya tak kan bisa melupakannya

Bilakah melupakannya?

Mungkin Aku akan melupakannya!!

Rasa itu….

Mungkin menyiksaku

Tapi…
Mungkin juga kelak membahagiakanku

Hanya saja mulut yang masih berbuih

Memekikkan duka karena rasa itu

Adakah kamu mendengarnya??

On the way (Di mobil Paijo)

Senin, 05 jan-04

BENALU TUA

Aku hadir dalam batas-batas kewajaran

Di antara rekahan pohon tumbang yang mengering

Ingin sekali memberi sentuhan hijau pada daun-daun

Yang berserakan

Entahlah…

Aku hanya benalu tua yang sebentar lagi mati

Pokok tempatku bernaung terbujur kaku dimakan waktu

Ranting-ranting tempatku bermain telah tersapu

Ah aku hanyalah benalu

Yang tak tahu malu

Lihatlah daun-daun itu

Kelaparan dan berguguran karena aku

Biarlah di sisa masa

Akan aku raih saja

Daun mana yang termuda

Ambillah hijauku untukmu

Demi generasimu

Demi tunas-tunasmu

(Tanjung Uncang 04 September 2005)

Rinduku Kerinduanku

Kutatap mega-mega-Mu dalam kerinduan yang membuncah

Aku mengerang pada rangkaian awan yang beriringan

Tuhan…..

Beri Aku harapan akan ampunan

Beri Aku pijakan dalam kegamangan

Kerinduanku akan naungan kasih-Mu

Dalam siang dan malamku

Bilakah jiwa menjadi bagian-Mu?

(Lagi gelisah nihh di 2005....)